KEUSKUPANRUTENG.ORG- Dalam perayaan ekaristi puncak Festival Golo Koe yang sekaligus pesta Santa Maria Assumpta pada Hari Jumat, 15 Agustus 2025, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat membawakan homili/kotbah yang sangat bernas dan kontekstual. Kotbah tersebut akan dipublikasikan dalam 3 edisi berturut-turut:
(Bagian Pertama Kotbah)
Tabe… saudara-saudariku terkasih,
Lihatlah sore ini… Labuan Bajo mengenakan jubah emasnya yang paling indah. Angin membawa garam samudera—rasa yang sama yang pernah dirasakan para rasul di Danau Galilea. Sinar senja menari di punggung bukit-bukit—seperti api Pentakosta yang menari di atas kepala para murid. Tetapi tahukah saudara/iku, mengapa Tuhan memilih sore ini, di tepi laut ini, untuk kita merayakan Maria Assumpta sekaligus acara puncak festival Golokoe?
Karena Maria—seperti laut yang kita tatap—adalah misteri yang tak terbatas. Seperti bukit-bukit yang menjulang, Maria adalah jembatan antara bumi dan surga. Dan seperti Labuan Bajo yang menjadi gerbang menuju keajaiban-keajaiban tersembunyi, Maria adalah gerbang menuju hati Allah. Pesta ini bukan ajakan untuk “melayang dari bumi”—tidak! Ini adalah undangan untuk mencintai bumi dengan cara Allah mencintainya. Karena di sinilah, di Labuan Bajo – di bumi yang indah ini—rencana Allah dinyatakan dan martabat manusia ditinggikan.
Maka mari kita dengarkan Sabda berikut. Mari kita biarkan tiga bacaan ini berbicara kepada hati kita seperti ombak yang berbicara kepada karang..
“Perempuan Berselubungkan Matahari”—Ketika Langit Berbicara dalam Bahasa Bumi” (WAHYU 11:19a; 12:1.3–6a.10ab)

Patung Bunda Maria Assumpta Nusantara di Pelabuhan Marina Labuan Bajo setelah prosesi laut pada 14 Agustus 2025
“Bait Allah di surga terbuka, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya…” Saudara-saudariku, bayangkan: seluruh surga menahan napas. Pintu-pintu keabadian terbuka lebar. Dan yang pertama kali kita lihat? Bukan takhta emas, bukan malaikat bersayap… tetapi seorang perempuan. Perempuan berselubungkan matahari—bukan permata atau sutra, tetapi matahari itu sendiri! Bulan di bawah kakinya—bukan karpet mewah, tetapi bulan yang menerangi malam! Mahkota dua belas bintang—bukan emas atau berlian, tetapi bintang-bintang yang menuntun perjalanan!
Ini bukan lukisan, saudara/iku. Ini adalah realitas surgawi yang lebih nyata daripada kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan sana, lebih kokoh daripada bukit-bukit yang menjulang di belakang kita. Tradisi Gereja membaca tiga lapis makna di sini—dan ketiganya seperti tiga warna benang dalam kain songke nenek moyang kita, saling menguatkan dan bukannya saling meniadakan.
Pertama, Israel, umat pilihan Allah: Dua belas bintang melukiskan kedua belas suku. Dari bangsa yang kecil, yang sering diasingkan, yang hidup dalam kegelisahan—lahir Sang Mesias. Seperti Flores kita yang kecil, yang terpencil, tetapi dari sini bisa lahir kesaksian iman yang menggetarkan dunia.
Kedua, Gereja, komunitas para murid: Yang ditindas naga merah besar namun dipelihara Allah di padang gurun. Gereja berjalan dalam sejarah dengan duka dan harapan. Seperti kita di Labuan Bajo—kadang tertekan oleh kepentingan-kepentingan besar, tetapi selalu dipelihara Tuhan.
Ketiga, Maria, pribadi yang mewujudkan puncak panggilan: Dari rahimnya lahir Putra yang akan menggembalakan segala bangsa. Maria adalah Israel yang sempurna, Gereja yang tanpa noda.
Tetapi ada makna keempat, saudara/iku… yang sangat dekat dengan hati kita sore ini:
Bumi yang kita cintai ini—Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia—juga adalah “perempuan” yang berselubungkan matahari Allah. Tanah kita yang subur, laut kita yang kaya, budaya kita yang beragam… semuanya adalah selubung kemuliaan Tuhan.

Gambaran tabut perjanjian yang segera disusul kemunculan perempuan—ini bukan kebetulan literatur! Ini adalah wahyu yang mendalam. Tradisi melihat Maria sebagai Tabut Perjanjian yang baru: bukan lagi memuat loh batu Taurat yang dingin, melainkan Sang Sabda yang menjadi daging hangat dalam rahimnya. Karena itu, penghormatan surgawi kepada “tabut” menubuatkan kemuliaan Maria: Ia—yang sepenuhnya tanpa syarat menyerahkan diri pada Allah—layak berada di kemuliaan bersama Putranya.
Tetapi… naga mengaum. Naga merah besar dengan tujuh kepala, sepuluh tanduk, dan tujuh mahkota. Ekornya menyeret sepertiga bintang-bintang dari langit dan melemparkannya ke bumi. Itu tandanya karya Allah di dunia selalu—selalu—diganggu oleh kekuatan yang memecah dan merusak.
Di zaman kita, saudara/iku, naga itu punya wajah yang sangat kita kenal; Keserakahan yang menjadikan alam ini sebagai mesin uang, Perdagangan manusia yang memperdagangkan anak-anak kita, Eksploitasi alam yang membunuh terumbu karang kita perlahan-lahan, Budaya yang dikomodifikasi tanpa martabat—dijual murah untuk selera turis, Pariwisata yang menguntungkan segelintir orang kaya, sementara nelayan kita semakin miskin.
Tetapi… dengarkan baik-baik wahyu ini: “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita!“. Pesannya jelas seperti matahari sore ini: karya Allah tak bisa digagalkan oleh naga manapun! Tugas kita adalah memilih dimana kita berdiri: di pihak Perempuan dan Bayinya, atau di pihak naga?
Labuan Bajo diberi anugerah panorama dan budaya yang luar biasa. Menghormati Maria sebagai “tabut baru” berarti menjaga anugerah ini: laut yang biru, bukit yang hijau, karang yang hidup, dan yang terpenting—manusia yang bermartabat. Ketika kita merajut kebangsaan dan menata pariwisata, kita sedang memilih: apakah kita akan berdiri di pihak Perempuan berselubungkan matahari, ataukah di pihak naga yang ingin menelan semua yang indah?.
Comments are closed.