Oleh : RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng
(Minggu 18 Mei 25: Yoh 31:13-35; Why: 21:1-5a)
Dari ruang perjamuan malam terakhir, penginjil Yohanes melukiskan dua gerakan peristiwa yang sama tetapi dengan arah yang berbeda. Yang satu tentang Yudas yang meninggalkan ruang perjamuan untuk kemudian mengkhianati Yesus. Yang lain tentang Yesus yang akan meninggalkan para murid untuk kemudian kembali kepada Bapa-Nya di Surga. Yudas akan mengalami kebinasaan. Sedangkan sang Putera akan dimuliakan oleh sang Bapa di Surga. Dengan ini kepada para murid, dan tentu juga kepada kita semua, dipaparkan dua kemungkinan dalam kehidupan ini: meninggalkan Yesus dan mengalami kebinasaan, atau bersatu dengan-Nya dan mengikuti jalan-Nya untuk mengalami kemuliaan Allah. Manakah jalan Yesu itu?
Untuk para murid yang ditinggalkan, Yesus menitipkan wasiat berupa sebuah perintah baru yakni “saling mengasihi”. Akan tetapi sejak dalam Perjanjian Lama, dalam kehidupan umat Israel, perintah kasih bukanlah hal yang baru. Inilah perintah yang yang paling utama dan merangkum seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat 22:36-40). Perintah kasih telah ada dalam tradisi iman Israel. Pertanyaannya, lalu di manakah kebaruan perintah kasih Yesus tersebut?
Kebaruannya terletak dalam dua hal. Pertama, kasih itu terkait erat dengan diri Yesus. Sebab dalam Dialah Allah telah mewujudkan cinta-Nya secara utuh dan sempurna. Melalui kedatangan-Nya ke tengah dunia kasih Allah dinyatakan kepada kita (1 Yoh 4:9). Melalui seluruh hidup-Nya yang memancarkan belas kasih Ilahi, yang berpuncak dalam pengurbanan diri-Nya di kayu salib dan dimeterai oleh kebangkitan-Nya, kasih Allah itu terealisir bagi kita dan terjadi dalam hidup kita, manusia (Yoh 15:13; 1 Yoh 3:16).

Kedua, kebaruan cinta Kristiani terletak dalam persekutuan kasih para murid yang terbentuk oleh cinta Kristus. Anugerah kasih Allah yang telah lebih dahulu diberikan cuma-cuma melalui Kristus membentuk sebuah ruang kehidupan, di mana kita para murid-Nya dapat saling mencintai secara baru. Karena itu kepada para rasul, Yesus berpesan: “sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34). Kasih Kristus inilah yang menjadi sumber, inspirasi dan semangat persekutuan para murid. Santo Agustinus berujar, “kasih ini membarui kita, sehingga kita menjadi manusia-manusia baru, pewaris-pewaris Perjanjian Baru, penyanyi kidung-kidung baru”. Kasih inilah yang oleh Yesus dinyatakan sebagai penanda jati diri persekutuan para murid: “semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).
Tentu kasih itu adalah harta Ilahi yang kita hidupi dan miliki “dalam bejana tanah yang rapuh” (2 Kor 4:7). Kenyataan memperlihatkan bahwa tidak mudah bagi kita murid Kristus untuk mempraktikkan kasih dalam hidup sehari-hari. Bukan hanya dalam kehidupan berparoki atau berkomunitas basis gerejawi, bahkan juga dalam persekutuan mesra keluarga yang merupakan Gereja mini, sering terjadi perselisihan dan konflik yang berujung pada balas dendam, pertikaian dan permusuhan. Malah kasih antara dua orang yang sangat dekat, intim dan mesra seperti suami-isteri sangatlah rentan untuk terluka, dan lukanya bahkan menganga begitu lama, dan sulit disembuhkan. Jusru karena itulah kita selalu membutuhkan kekuatan kasih Kristus untuk menguatkan kita yang lemah dan rapuh. Kita perlu senantiasa menimba rahmat kerahiman Ilahi untuk menyembuhkan kasih yang terluka dalam kerapuhan dan keterpurukan hidup ini.
Kita boleh yakin dan percaya, kasih setia Allah akan meperbarui dan meresapi kasih kita yang lemah, dan terbatas. Dia akan menuntun persekutuan kasih Gereja yang sering terluka dan rapuh ini ke dalam persekutuan kasih sempurna abadi Allah Tritunggal Maha Kudus. Karena itu dalam kerapuhan itu, kita boleh terus berkelana di tengah-tengah dunia fana ini sebagai “peziarah-peziarah penuh pengharapan” untuk memasuki Yerusalem Surgawi dan menikmati “langit dan bumi yang baru” (Why 21:1). Di sana Allah sendiri akan “menghapus segala air mata” kita, di sana “tak ada lagi perkabungan, ratap tangis atau dukacita”. Segala sesuatu yang lama telah berlalu. Ia menjadikan “segala sesuatu yang baru”. Dalam pengharapan penuh sukacita ini saya mengucapkan padamu: Selamat Minggu Paskah V! Tuhan mengasihimu…
Comments are closed.