Oleh : RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng
Minggu Prapaskah Kelima, 6 April 2025, Yoh 8:1-11
Bayangkanlah situasi wanita yang diseret ke hadapan Yesus oleh massa yang mengamuk. Bukan lagi malu dan terhina, tapi hidupnya sudah hancur. Kepada siapa dia dapat menjerit pertolongan? Tak seorang pun, dia tak punya siapa-siapa. Seorang diri, dia terkapar tak berdaya. Yang tersisa hanyalah maut yang tak lama lagi menjemputnya. Yang ada hanyalah kerumunan massa yang semakin berteriak histeris dan memuntahkan palu hukum Musa: wanita berzinah demikian harus dilempari batu sampai mati…
Bukankah histeri massa demikian masih terus bahkan semakin menghantui jagat raya hidup kita, khususnya dunia maya, ruang digital dewasa ini? Begitu mudahnya orang didakwa. Begitu cepatnya orang dibully. Begitu gampangnya martabat seseorang dihancurkan. Begitu enaknya orang bergembira di atas sensasi penghinaan dan penderitaan orang lain. Ini bukanlah cerita dulu, tetapi kisah masa kini. Ini bukan hanya narasi injil. Ini kisah aktual hidup kita.
Yang menarik, terhadap dakwaan dan tuntutan hukuman mati atas wanita yang terkapar sengsara, dua kali injil menceritakan bahwa Yesus membungkuk dan menulis ke tanah. Tak diceritakan apa yang ditulis. Yang menarik adalah gestikulasinya “membungkuk”: simbol peduli dan berbela rasa dengan perempuan naas itu. Tapi sesungguhnya sekaligus peringatan keras pada massa yang mengamuk untuk melihat ke dalam diri sendiri: di hadapan Tuhan, semua orang adalah debu tanah, mahkluk berdosa. Seperti nubuat Yeremia: mereka yang menyimpang darimu, akan tertulis di tanah (17:13). Maka: “Barang siapa yang tak berdosa, hendaklah dia melemparkan batu yang pertama kepada perempuan ini.” Dengan malu yang tak tertahankan, satu per satu himpunan massa yang ganas mengamuk tadi pergi dengan diam-diam.

Kini tinggallah mereka berdua saja. Perempuan yang hidupnya hancur tak berdaya dengan Yesus. Namun sekarang perempuan itu tak lagi sendiri. Kini dia mempunyai seseorang. Santo Agustinus melukiskan situasi ini dengan sangat mengena dan indah: “relicti sunt duo: misera et misericordia.” Yang tertinggal hanyalah dua: yang terluka dan yang berbelas kasih. Injil menuturkan, Yesus kembali bangkit berdiri dan berpaling kepada perempuan itu. Tapi Dia tak menanyakan dosanya. Juga Dia tidak menuntut permohonan ampun dari perempuan itu. Yesus tak menohok sekali lagi orang yang sudah terluka. Dengan lembut dia menatap wanita itu dan bertanya, “di manakah mereka? Tak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawab perempuan itu lirih, “tidak ada, Tuhan”. Lalu meluncurlah sabda pembebasan dari mulut Yesus: “Aku pun tak menghukummu!”
Juga kepadamu yang pernah dan mungkin masih mengalami sakitnya dihina, dibully, dicemoohkan, diadili, dihancurkan, merasa sendirian, tak punya siapa siapa, yakinlah masih ada DIA, Yesus, yang selalu setia dan peduli denganmu. Juga kepadamu yang sedang terpuruk, terjatuh, terkapar tak berdaya, hancur lebur seperti debu tanah, rasakanlah Yesus yang sedang membungkuk, dan ingin merangkulmu. Dia mau menulis indah dalam hidupmu: Aku mencintaimu, apa pun yang terjadi pada dirimu. Dia bangkit berdiri untuk menegakkan martabat dirimu. Engkau berarti dan bernilai bagi-Nya. Justru karena itu Dia mengutusmu untuk menjadi pewarta pertobatan dan peziarah penuh pengharapan di tengah dunia yang rapuh dan kelam ini: “Aku pun tak menghukummu. Pergilah, jangan berbuat dosa lagi!” Selamat merasakan, mensyukuri dan membagikan kerahiman Tuhan. Happy Sunday. Tuhan memberkatimu….
Comments are closed.