Oleh: RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng
(Minggu 30C, 27 Oktober 2025: Luk 18:9-14)
Apakah yang salah dari orang Farisi yang “saleh” dalam warta injil hari minggu ini? Tentu sangatlah baik, bahwa dia setia menjalankan kewajiban agamanya: berpuasa dua kali seminggu dan memberi sedekah (kolekte dan bantuan sosial) sejumlah 10% dari seluruh penghasilannya. Sangatlah terpuji perilakunya dalam mentaati perintah Musa untuk tidak mencuri, tidak berzinah, dan tidak bertindak lalim. Lalu apanya yang “tidak benar” darinya?
Yang salah dari si Farisi bukan sekedar dia menyombongkan diri, menganggap diri hebat sambil memandang rendah yang lain: Aku bukan seperti si pemungut cukai ini. Tetapi kekeliruan yang paling dasar dan menentukan dari si Farisi adalah egoismenya. Bukan Allah yang menjadi pusat doanya tetapi dirinya. Bukan Allah yang dimuliakan dalam puji syukurnya tetapi keakuannya: terima kasih Tuhan karena AKU bukan seperti yang lain. AKU…AKU…AKU…. Dalam doanya ini, sesungguhnya, si Farisi itu tidak memuliakan Allah tetap mengagungkan dirinya sendiri. Litani pujiannya terarah pada kehebatan dirinya bukan pada kehebatan Allah. Jadi yang orang Farisi itu andalkan dalam hidupnya sejatinya bukanlah rahmat dan kekuatan Allah tetapi perbuatan dan prestasi dirinya sendiri.
Sebaliknya yang terjadi dengan si Pemungut Cukai. Dia sungguh merasakan kerapuhan, dan kelemahan dirinya. Dia sungguh mengakui kehinaan dirinya di hadapan Allah. Dan karena itu dia “tak berani menengadah ke langit”. Dia bahkan juga takut dekat dekat dengan si Farisi yang “alim” itu. Injil melukiskan dengan pilu: Dia berdiri jauh jauh dan sambil memukul dirinya, dia hanya bisa menunduk dan berseru lirih, “Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk 18:13).

Akan tetapi justru si Pemungut Cukai inilah yang oleh Yesus “kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah!” Mengapa? Karena dia menyerahkan dirinya kepada kerahiman dan pengampunan Allah. Sebab dia mengandalkan Allah dalam hidupnya.
Sebaliknya orang Farisi itu kembali sebagai yang tidak dibenarkan, karena dia mengandalkan kealiman dirinya sendiri. Bukan Allah yang menjadi pusat hidupnya tetapi dirinya. Persis di sinilah terletak kekeliruan dasarnya. Rasul Paulus menandaskan bahwa manusia itu mahkluk lemah dan berdosa. Karena itu manusia dibenarkan hanya oleh karena rahmat Allah bukan oleh perbuatannya (Rm 3:23-25). Keselamatan seseorang bergantung semata pada rahmat penebusan Kristus yang cuma cuma, bukan pada jasa manusia.
Lalu bagaimanakah dengan saya dan engkau? Sejauh mana dalam hidup ini saya sungguh berpaut dengan Allah dan bukan terikat pada diri sendiri? Sejauh mana doa saya mengungkapkan kebergantungan saya pada Allah dan bukannya litani pujian atas kesalehan dan kesuksesan diri? Bagaimanakah saya bersikap di hadapan Allah? Tersungkur hina dalam pelukan kerahiman-Nya ataukah berdiri pongah memamerkan kesalehan pribadi? Happy Sunday! Tuhan memberkatimu…

Comments are closed.