Sidang Pastoral Post Paskah dilaksanakan di Rumah Ret-Ret Maria Bunda Karmel Wae Lengkas, 22 – 24 April 2021. Sidang diawali dengan Rekoleksi dan materi tentang Tata Layanan Pastoral Kasih oleh Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat. Berikut adalah naskah materi yang dibawakan oleh Uskup Siprianus sebagai input pada pembuka Sidang Pastoral itu.
TEMA: TATA LAYANAN PASTORAL KASIH
Pendahuluan
Para Imam, Pastor Paroki dan pimpinan lembaga yang terkasih dalam Kristus!
Selamat merayakan pesta paskah. Semoga sapaan lembut Kristus yang bangkit, “Jangan takut!” (Mat 28:10), meresapi batin kita dan menginspirasi karya pelayanan pastoral kita setiap hari. Pesan paskah ini semakin terasa bergema dalam situasi kehidupan kita dewasa ini yang sedang mengalami bencana bertubi-tubi. Sementara pandemi Covid-19 yang ganas belum berakhir, malah muncul taifun seroja. Bencana dasyat ini telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan ribuan orang di wilayah NTT termasuk banyak keluarga di sejumlah kampung dan paroki kita. Dalam situasi duka nestapa ini, hendaknya kita menyadari bahwa Paskah memang tidak menghapuskan penderitaan dan bencana dari muka bumi ini. Tetapi rahmat paskah memberi kita energi dan daya juang untuk terus merangkai asa dan menggerakan tapak-tapak kehidupan menuju masa depan baru yang dibangun dalam kasih Kristus yang telah bangkit.
Kisah Para Rasul menarasikan kepada kita, bahwa setelah kebangkitan Yesus, para murid mengalami penganiayaan yang semakin hebat dan menjadi-jadi. Namun dalam tantangan demikian, mereka justru semakin berani dan teguh untuk mewartakan injil. Ketika diancam, Petrus dan Yohanes menyampaikan dengan tegas kepada mahkamah agama Yahudi: manakah yang benar, takut kepada Allah atau kepada manusia? Kemudian mereka mengumandangkan dengan nyaring keyakinan imannya: “sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis 4:19-20). Semoga pengalaman Kristus yang bangkit mengobarkan api-api misionaris dalam diri kita untuk dengan penuh semangat terus menyalakan lilin-lilin cinta Kristus di dalam paroki dan lembaga yang kita layani.
Saya bergembira sekali dapat bertemu dengan para romo dan pater dalam sidang pastoral post paska 2021. Ini merupakan pertemuan pastoral keuskupan pertama kali bersama saya sebagai gembala Keuskupan Ruteng. Dalam ziarah setahun sebagai Uskup di tanah Congkasae tercinta ini, saya sungguh merasakan kasih Tuhan dan dukungan umat Allah dalam seluruh dinamika pelayanan pastoral di Keuskupan Ruteng selama ini. Karena itu saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya dan terima kasih berlimpah kepada semua pelayan pastoral dan umat Keuskupan Ruteng yang telah mendukung dan menyertai saya dalam gerakan pastoral bersama utk mewujudkan kasih Allah. Kasih Allah itu telah mengalahkan kuasa dosa dan kematian, dan sungguh-sungguh hidup di keuskupan ini. Hal ini terutama terasa dalam pelbagai gerakan pelayanan kasih yang telah kita buat bersama dalam membantu mengatasi dampak negatif pandemi Covid-19. Motto “omnia in caritate” mulai dan sedang menjadi gerakan iman bersama di paroki dan lembaga Keuskupan Ruteng. Para pelayan pastoral dan umat bergandeng tangan dan bahu membahu untuk semakin mewujudkan kasih Allah yang melimpah bagi orang-orang yang malang dan menderita dalam kehidupan ini.
Kasih yang Spiritual dan Insani
“Omnia in caritate” pertama-tama merupakan ziarah spiritual. Yaitu momentum kehidupan beriman utk semakin merasakan kasih Allah dlm kehidupan, peristiwa dan pengalaman akan nikmatnya dan lembutnya kasih Allah. Pemazmur mengajak kita selalu untuk: “mengecap dan menikmati betapa baiknya Tuhan” (Mzm 34:8). “Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.” (1 Yoh 4:8-9). Marilah kita dalam segala kesibukan pastoral dan kepenatan manusiawi, selalu mencari dan merasakan lembut dan indah-Nya kasih ilahi ini.
Kasih Allah itu telah “menjadi daging” dan tinggal di tengah kita (bdk Yoh 1:14). Kaena itu “Omnia in caritate” adalah juga gerakan insani-manusiawi. Kasih Allah tidaklah abstrak tetapi mengambil wujud konkret manusiawi dan mengundang kita terlibat dalam gerakan mewujudkan kehidupan yang semakin bermartabat dan manusiawi di tengah dunia ini. Lebih dari itu kasih Allah tersebut diwujudkan dalam perjuangan dan pengurbanan Kristus yang total sampai wafat di kayu salib (Yoh 15:13). Karena itu gerakan “omnia in caritate” mesti menjadi juga gerakan sosial manusiawi yang total dan radikal baik dalam pelbagai aksi sosial karitatif maupun upaya transformatif dalam membangun masyarakat (kehidupan umat) yang makin solider, sejahtera, dan adil.
Oleh sebab itu saya mengajak seluruh pelayan pastoral di paroki dan lembaga untuk semakin meningkatkan dan memperdalam pelayanan kasih Gereja baik yang karitatif maupun yang transformatif. Pelayanan kasih harus menjadi marwah yang meresapi dan menggerakan seluruh pelayanan pastoral kita di tengah masyarakat Manggarai Raya ini. Tentu perjuangan ini tidaklah mudah. Ada banyak tantangan dan kesulitan. Tetapi bila kita berani mencintai seperti Kristus, kita dapat juga merasakan kekuatan kasih-Nya dalam memikul salib hidup kita. Kita juga boleh merasakan kemenangan dan sukacita paskah yang menyegarkan hidup dan menuntun gerakan pastoral terus menerus menuju masa depan baru bersama Tuhan yang telah bangkit.
Kasih yang Ekologis dan Kultural
Selain dimensi insani-manusiawi, “Omnia in caritate” merangkul pula dimensi ekologis. Allah telah menciptakan alam semesta dengan indah dan harmonis serta menugaskan manusia untuk memelihara dan merawat integritas alam ciptaan-Nya (Kej 1-2). Kasih ilahi dicurahkan tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada segala universum ciptaan-Nya. Dalam kemolekan lembah dan bukit menghijau, dalam keasrian bunga dan tanaman, dalam celotehan burung dan mahkluk udara, kita dapat berjumpa dengan keindahan dan kelembutan kasih ilahi. Karena itu dalam ensiklik Laudato si, Paus Fransiskus mengajak kita untuk menyadari dan merasakan kesatuan yang intim antara kita dengan mahkluk ciptaan Allah: “Bumi, rumah kita bersama, bagaikan saudari, yang dengannya kita membagikan kehidupan, bagaikan mama yang indah, yang merangkul kita dalam pelukannya.” (LS 1). Oleh sebab itu saya mengajak seluruh umat Allah untuk terlibat dalam gerakan “omnia in caritate” untuk mewujudkan kasih Allah kepada seluruh mahkluk ciptaan-Nya di tanah Nucalale yang indah ini. Mari kita lanjutkan dan perkuat seluruh gerakan ekologis kita selama ini seperti penghijauan, perawatan sumber mata air dan hutan, pertanian organik selaras alam, kebun sehat dan asri, dan gerakan tolak tambang.
Selain dimensi ekologis, kasih Allah juga menjamah dan meresapi aspek kultural. Budaya dalam perspektif iman Kristiani tidaklah sekedar hal-hal material dan gagasan, nilai, sikap dan pola kehidupan sebuah entitas masyarakat. Tetapi budaya juga adalah medan perjumpaan dengan Allah sendiri. Keanekaraman dan kekayaan budaya merupakan benih-benih sabda yang ditaburkan dalam khasanah intim dan mendalam dari setiap suku dan bangsa. Bahkan dimensi kultural ini juga tidak luput dari karya penebusan Kristus yang universal dan integral. Karena itu dalam dokumen Ad gentes, Konsili Vatikan II mengingatkan agar “apa pun baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah” (AG,9).
Atas dasar itu gerakan “Omnia in caritate” mesti menjamah dan meresapi juga budaya Manggarai. Budaya Manggarai memiliki kekayaan yang luar biasa dan menampilkan ekspresi yang begitu indah sehingga dapat menjadi sarana inkulturasi dan aktulisasi iman Kristiani yang otentik. Terlebih budaya persaudaraan dan persatuan Manggarai sangatlah selaras dengan communio Gereja. Kita dapat mengatakan bahwa budaya “nai ca anggit” Manggarai adalah benih kasih Allah yg sdh ditaburkan di tanah Nucalale ini. Banyak ungkapan go’et yang melukiskan hal ini: “Ite hoo ase kae, kope oles todo kongkol. Tipung ca tiwu neka woleng wintuk, teu ca ambo neka woleng lako, ngalor ca laro neka woleng jaong, muku ca puu neka woleng curup”.
Orientasi Pastoral Kasih ke Depan
Bila kita merefleksikan secara sistematis dan mendalam, maka tampak pula bahwa apa yang menjadi orientasi maupun gerakan-gerakan terprogram dalam implementasi Sinode III selama lingkaran lima tahun yang sudah lewat selaras dengan spirit “omnia in caritate”. Kita selama ini telah berupaya unutk mewujudkan kasih Allah itu dalam pelbagai dimensi kehidupan Gereja seperti pengudusan (2016), pewartaan (2017), persekutuan (2018), pelayanan sosial/diakonia (2019) maupun dalam diri gembala kasih (2020). Pelbagai dinamika pastoral kita selama ini telah berupaya untuk mewujudkan apa yang menjadi arah dasar Sinode III yakni persekutuan umat Allah yg beriman utuh, dinamis d transformatif.
Kasih ini juga yang akan meresapi dan menuntun seluruh program dan gerakan pastoral kita ke depan. Dalam tahun 2021 kita secara khusus akan memperhatikan tata layanan pastoral agar dirancang, dikelola dan dijalankan dalam semangat “omnia in caritate”. Kita perlu memperbarui tata layanan pastoral sehingga semakin efisien d efektif. Kita perlu “mendagingkan kasih ilahi” dalam kehidupan nyata umat sekaligus menggerakan pergumulan hidup umat dalam semangat dan sukacita Paskah. Paus Benediktus XVI menegaskan dalam ensiklik pertamanya, “Deus caritas est”, bahwa kasih memanglah pertama-tama berciri spiritual tetapi sekaligus membutuhkan pengelolaan dan pengorganisasian yang tepat dan berdaya guna (DCE, 20). Oleh sebab itu dalam tahun 2021 ini kita ingin memfokuskan tema pastoral pada “Tata Layanan Pastoral Kasih”.
Pembaruan visi, program dan gaya pastoral dewasa ini dituntut baik oleh injil maupun oleh konteks kehidupan global yang berubah pesat dewasa ini. Paus Fransiskus mengingatkan dalam surat apostolik evangelii gaudium tentang gaya pastoral “kemapanan” yang dibungkus oleh struktur dan pola pastoral “zona nyaman” Gereja. Akibatnya Gereja kurang peka membaca tanda-tanda zaman dan inspirasi serta tuntunan Rohkudus dalam perutusannya. Oleh sebab itu beliau mengajak kita “untuk memperbaharui segalanya, sehingga kebiasaan-kebiasaan, cara-cara, agenda-agenda, bahasa dan setiap struktur Gereja menjadi sebuah kanal, yang lebih melayai evangelisasi dalam dunia dewasa ini, daripada upaya mempertahankan kemapanan diri” (EG 27). Seluruh pastoral Gereja hendaknya menjadi saluran kasih ilahi dalam kehidupan manusia dengan segala suka-duka, kecemasan dan harapannya (GS 1).
Oleh sebab itu saya mengajak kita semua untuk selalu mencari dan menimba inspirasi Sabda Allah dan kekuatan Roti Ekaristi dalam seluruh pelayanan pastoral kasih. Kita perlu keluar dari jebakan untuk berpastoral dengan gaya dan cara yang sama saja, yang terlalu “liturgisentris” dan berpikir hanya itulah yang terbaik: “kami selalu melakukannya dengan cara ini” (EG 33). Kita mesti berani dan kreatif untuk memikirkan, merencanakan dan memperbarui kembali “tujuan, struktur, gaya dan metode evangelisasi” (EG 33). Saya sering mengistilahkan ini dengan pentingnya “pastoral kreatif” atau “pastoral out of the box”. Pastoral rutin tentulah penting, tetapi kita juga mesti merancang secara kreatif dan inovatif pola, metode, isi pastoral sedemikian sehingga pelayanan kasih Gereja semakin signifikan dalam kehidupan umat dan semakin relevan di tanah Congkasae ini. Marilah kita merangkai asa bersama, merekat persaudaraan dan bergandengantangan agar misteri inkarnasi dan paskah, “kasih yang mendaging” dan “telah bangkit”, semakin terasa nyata dan berbuah dalam kehidupan Gereja Keuskupan Ruteng.
Penutup
Akhirnya dalam segala upaya sistematis yang terfokus untuk mencapai tujuan pastoral, tentu tidak jarang kita mengalami kesibukan, ketertundaan, kegagalan. Kita selalu merasakan kelemahan dan kerapuhan manusiawi. Kita kerap menghadapi keterbatasan dan kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Finansial (SDF) dan Tata Kelola yang bermutu. Tetapi justru dalam kondisi demikianlah semakin nyata ketergantungan kita kepada kekuatan Allah. Maka marilah membiarkan rahmat Allah bekerja dalam diri kita yang terbatas dan rapuh. Cinta Allah sering bertumbuh diam-diam dalam hal-hal yang tidak kelihatan.
Ada banyak dalam hidup dan pelayanan pastoral kita yang karena sering rutin kita lakukan, terasa sepele dan dianggap kecil. Kita kadang menjadi bosan dan tak bersemangat. Kita tak punya gairah untuk berimajinasi dan berkreasi. Ironisnya, kita justru terus bermimpi tentang banyak hal lain yang dianggap besar dan hebat secara kasat mata, tetapi yang sesungguhnya seringkali “menipu” dan menjanjikan kenikmatan palsu. Oleh sebab itu marilah kita terus melakukan semua pelayanan pastoral kita yang biasa, kecil dan sederhana dengan setia dan penuh kreasi. Bunda Teresa bilang, “Not all of us can do great things. But we can do small things with great love” (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tetapi kita semua dapat melakukan hal-hal kecil dengan penuh cinta). Mari kita melakukan segala pekerjaan kita sehari-hari dalam kasih. Omnia in Caritate. Trima kasih.
Ruteng, 22 April 2021
Uskup Ruteng,
Mgr. Siprianus Hormat
Comments are closed.