KEUSKUPANRUTENG.ORG – Dalam perayaan ekaristi puncak Festival Golo Koe yang sekaligus pesta Santa Maria Assumpta pada Hari Jumat, 15 Agustus 2025, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat membawakan homili/kotbah yang sangat bernas dan kontekstual. Berikut bagian ketiga dari Kotbah tersebut:
(Bagian ketiga Kotbah)
“Kunjungan & Magnificat”—Ketika Perempuan Hamil Mengubah Dunia”(LUKAS 1:39–56)
“Pada masa itu juga berangkatlah Maria…” Metà spoudēs—dengan segera, dengan semangat, dengan urgensi! Bayangkan: seorang gadis muda, baru saja menerima kabar yang mengubah hidupnya selamanya, baru saja mengandung Juru Selamat dunia… dan apa yang dilakukannya?
Ia bergegas pergi membantu sepupunya yang juga sedang mengandung! Inilah, saudara-saudariku, ikon Gereja sinodal: berjalan bersama, menjemput yang membutuhkan, bukan menunggu sambil berpangku tangan; menyapa yang rentan, bukan hanya menyambut yang mapan. Maria tidak berkata: “Sekarang aku mengandung Tuhan, jadi aku harus dijaga dan dilayani.” Tidak! Ia berkata: “Justru karena aku mengandung Tuhan, aku harus pergi melayani!”
Di rumah Elisabet terjadi mukjizat pertama: Yohanes melonjak—skirtáō—dalam kandungan. Kata yang sama dipakai untuk menggambarkan Daud yang “menari” di hadapan tabut perjanjian (2 Samuel 6). Lagi-lagi, Maria tampil sebagai Tabut Baru yang membawa hadirat Allah. Kehadiran Maria membuat bayi yang belum lahir sudah bisa merasakan sukacita surgawi!
Dan kemudian… Maria melantunkan lagu yang menggetarkan langit dan bumi. Lagu yang membuat para penguasa zaman itu gemetar, lagu yang menjadi anthem kaum tertindas sepanjang sejarah, lagu yang masih membuat para diktator tidak bisa tidur nyenyak:
MAGNIFICAT “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku…”

Tetapi jangan berhenti di ayat yang manis itu! Dengarkan kelanjutannya—ini adalah program rohani dan sosial Gereja sepanjang masa: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah hati; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa.” Ini bukan puisi romantis, saudara/iku. Ini adalah manifesto yang punya konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik!
Allah membangunkan tatanan dunia; Yang congkak diceraiberaikan, Yang berkuasa diturunkan, Yang hina dina diangkat, Yang lapar dikenyangkan, Yang kaya dan tamak disuruh pergi dengan tangan hampa. Ini bukan ideologi kelas, ini bukan komunisme. Ini adalah kabar gembira yang bergerak dari pinggiran ke pusat, yang inklusif, yang merangkul semua orang dalam kasih Allah—tetapi yang menuntut keadilan.
Sinodalitas berarti mendengar 360°: Suara bupati dan suara nelayan. Suara pengusaha hotel dan suara tukang ojek. Suara wisatawan dan suara mama-mama di pasar. Suara anak muda yang bermimpi dan suara orang tua yang berpengalaman. Suara para suster, imam, pendeta, ustaz—dan suara mereka yang terpinggirkan.
Semua diajak bicara. Semua dilibatkan. Semua didengar. Karena Magnificat menantang kita memastikan bahwa manfaat pariwisata—berkat yang Tuhan berikan melalui keindahan Labuan Bajo ini—tidak hanya untuk segelintir orang, melainkan untuk semua, khususnya yang kecil.

APLIKASI KONKRET: Lima Komitmen Labuan Bajo Saudara-saudariku, iman tanpa perbuatan adalah mati. Mari kita wujudkan Magnificat dalam lima langkah konkret yang bisa kita mulai hari ini:
Pertama, jadikan setiap hari sebagai hari ekologis yang sakramental. Kurangi plastik seperti mengurangi dosa, siapkan refill station air minum di tempat-tempat publik, dukung penanaman mangrove seperti menanam harapan, dan rayakan car free day sebagai hari syukur kepada Sang Pencipta.
Kedua, tanamkan etos peziarahan dalam setiap kunjungan. Mari kita ajak wisatawan datang sebagai peziarah yang menghormati, bukan penakluk yang serakah. Menghormati tempat seperti rumah sendiri, berfoto tanpa merusak, berenang tanpa menginjak karang—karena setiap sudut Labuan Bajo adalah rumah bersama.
Ketiga, wujudkan ekonomi yang adil bagi semua. Pastikan UMKM lokal mendapat ruang strategis, tour guide lokal memperoleh training dan upah yang layak, dan hasil laut nelayan kita dibeli dengan harga yang menghargai jerih payah mereka.
Keempat, bangun benteng perlindungan martabat manusia. Bentuk koalisi anti-perdagangan orang, jadikan setiap paroki sebagai tempat aman untuk melaporkan eksploitasi, dan sediakan hotline 24 jam untuk korban—karena setiap manusia adalah gambar Allah yang tak boleh diperdagangkan.
Kelima, hidupkan forum sinodal berkelanjutan yang melibatkan pemerintah, komunitas agama, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat. Bukan sekadar rapat tanpa hasil, tetapi forum dengan target jelas dan monitoring berkala—karena berjalan bersama adalah cara kerja Kerajaan Allah.

Penutup: Mata ke Surga, Kaki di Bumi
Saudara/iku..
Matahari akan tenggelam, bintang-bintang pun akan muncul—seperti harapan kecil yang kita tanam sore ini.Maria Assumpta mengangkat mata kita ke surga supaya kaki kita menjejak bumi dengan cara yang benar. Maka, dari tepi laut ini, marilah kita berdoa:
“Bunda Maria, Tabut Perjanjian yang Baru, Perempuan berselubungkan matahari keadilan, Ibu yang bergegas melayani, Ajar kami merajut kebangsaan tanpa meninggalkan siapa pun—Kristen dan Muslim, Hindu dan Budha, Manggarai raya, kaya dan miskin.
Ajar kami membangun pariwisata yang memuliakan ciptaan dan martabat manusia—
Yang melihat laut sebagai katedral, bukit sebagai altar, dan setiap orang sebagai gambar Allah. Ajar kami berjalan sinodal—saling mendengar dengan hati terbuka, saling menanggung dengan bahu kokoh, saling mengasihi dengan cinta yang tidak pernah lelah.
Lindungilah kota Labuan Bajo yang indah ini,
Lindungilah tanah Flores yang mempesona ini,
Lindungilah Nusa Tenggara Timur yang kaya ini,
Lindungilah Indonesia tercinta yang beragam ini.
Dengan perlindunganmu, semoga kami menjadi saksi-saksi hidup bahwa surga dan bumi bisa bersatu, bahwa iman dan kehidupan bisa sejalan, bahwa cinta Allah dan cinta sesama adalah satu dan sama. (berhenti sejenak)
…Dan sebelum kita mengakhiri homili ini, izinkan saya menutup dengan pantun:
Menyelam di laut biru Labuan Bajo
Karang indah, ikan warna-warni bersahabat mesra
Mari kita rajut kebangsaan dan jaga alam ini selalu
Bersama Bunda Maria, kita saling mengasihi tanpa beda
Naik perahu ke Pulau Padar pagi-pagi
Bukit hijau dan laut biru memanggil jiwa
Pariwisata lestari membawa berkat sejati
Bersama Bunda Maria, kita memuliakan Sang Pencipta
Ave Maria… Ave Maria… Ave Maria…
Tabe.
Comments are closed.