(Renungan Minggu Biasa VIII/C/1, 2 Maret 2025, Luk 6:39-45; Sir 27:4-7)
Oleh : RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PusPas) Keuskupan Ruteng
Sabda Tuhan sering sekali menyatakan prinsip-prinsip umum dalam kehidupan, tetapi tak jarang menyentil pula hal-hal yang praktis. Salah satunya bacaan hari Minggu ini yang mengajakku untuk bijak berbicara dengan orang lain. “Sebab yang diucapkan mulut meluap dari hati”, demikan Yesus mengingatkanku (Luk 6:45). Kata-kata yang keluar adalah ekspresi internal diri. Bila yang terungkap baik, itulah cerminan diri.
Untuk itu Yesus mengambil perbandingan dari kehidupan ekologis tanaman. Pohon baik dikenal dari buahnya. Tak ada buah ara yang berasal dari semak duri, dan buah anggur dari duri-duri. Hal yang sama diwartakan oleh Kitab Putera Sirakh. Sebagaimana nilai ladang tampak dalam buah pohon yang tumbuh di situ, demikian halnya bicara orang menyatakan isi hatinya. Karena itu ia menandaskan, bahwa ujian manusia terletak dalam bicaranya. Maka jangan memuji seseorang sebelum dia berbicara (27:7).
Secara khusus kebiasaan “bicara” yang diwanti-wanti oleh Yesus adalah mengadili dan mempersalahkan orang lain. Hal ini biasa dibuat oleh orang untuk menutupi kelemahan dan kesalahan dirinya sendiri. Seorang anak sering menyalahkan temannya untuk menghindari hukuman atas dirinya. Demikian pula seorang suami atau isteri sering meletakkan kesalahan pada pasangannya, untuk membenarkan dirinya. Padahal dalam setiap masalah keluarga apa pun, selalu ada kontribusi dari masing-masing pihak, meskipun dengan kadar yang berbeda. Dengan keras Yesus membongkar egoisme demikian, hai orang munafik, mengapa engkau ingin mengeluarkan selumbar dari mata orang lain sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak engkau lihat? (Luk 6:41).

Banyak masalah terjadi dalam kehidupan karena “salah” atau “keliru” berkomunikasi. Ada ungkapan popular yang menggelitik: “mulutmu adalah harimaumu”. Kata-kata seseorang sering melukai dan “membunuh” (memangsa) yang lain. Sebaliknya melalui bicaranya, seseorang akan “diadili”. Dewasa ini “warning” atas komunikasi yang “sesat” berlaku tidak hanya untuk kata-kata lisan tapi terlebih dalam “bahasa digital”. Yang sering muncul menghebohkan adalah perundungan digital (cyberbullying): menyebarkan kebohongan atas seseorang atau memposting foto memalukan dalam media sosial. Sehingga istilah diatas dikemas baru: “jarimu adalah harimaumu”.
Sabda Allah hari ini mengajakku untuk bijak berbicara, dan bijak bermedia. Sebab apa yang saya komunikasikan, mengungkapkan kesejatian diriku. Tentu yang tulus dan benar, bukan “pencitraan”. Sejalan dengan itu hidup bersama orang lain akan menjadi indah dan damai, manakala saya berkomunikasi dengan bijak. Selamat berhari minggu… Tuhan memberkati.
Comments are closed.