Oleh : RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng
Minggu Palma, 13 April 2025; Luk 19:28-40
Hal sangat menarik, bahkan aneh terlihat Ketika Yesus masuk ke kota Yerusalem, untuk mengawali jalan penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Dia menunggangi bukan seekor kuda, yang lazim digunakan oleh seorang raja saat itu bila ia dengan segala kebesarannya memasuki ibukota. Bukan seekor kuda yang kuat dan gesit berperang, tetapi Yesus mengendarai seekor keledai yang lemah dan hina. Keledai hanya digunakan untuk membawa barang, bukan manusia. Namun justru di sinilah terlihat perbedaan mendasar Raja Mesias dengan para raja lainnya. Nabi Zacharia melukiskannya dengan indah: “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion… Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai” (Zak 9:9).
Jadi keledai sesungguhnya memperlihatkan jatidiri, karakter dan metode kerja sang Raja Mesias: Dia bukanlah seorang diktator bertangan besi, tetapi seorang pelayan yang lemah lembut. Dia bukanlah penguasa yang berjaya dalam kemewahan dan kesombongan. Tetapi Dia adalah raja yang sederhana, raja kaum miskin. Metode kerjanya bukan balas dendam, konflik, kekerasan dan peperangan, tetapi pengampunan, perdamaian, negosiasi dan solidaritas. Karena itu Nabi Zakaria melanjutkan: Sang Mesias akan melenyapkan kereta, kuda, dan busur perang. Ia adalah pembawa damai kepada bangsa-bangsa (Zak 9:10).
Bukankah pemimpin seperti inilah yang kita rindukan di tengah dunia kita yang mabuk kuasa dan doyan berperang termasuk “perang dagang”? Bukankah pemimpin sejati demikian yang kita butuhkan di tengah teater jijik penguasa yang rakus jabatan, tergila-gila dengan pencitraan, dan hebat dalam “omon-omon”?.

Maka perayaan minggu palma hari ini bukanlah sekedar sebuah upacara keagamaan belaka, tetapi suatu kritik pedas yang mengandung pesan perubahan dalam kehidupan pribadi dan relasi sosial (transformatif). Bukan hanya terhadap penguasa tetapi juga terhadapku! Teladanilah Mesias yang lemah lembut dan sebagai promotor damai. Pesan ini berlaku juga untuk relasi manusia dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluarga dan masyarakat yang selalu dirasuki oleh pelbagai konflik dan kekerasan. Pilihlah dan retaslah selalu jalan damai! Cara “non violence”, jalan tanpa kekerasan adalah pilihan dan cara Kristiani dalam segala pertentangan yang terjadi dalam relasi suami-isteri, antara orangtua-anak, guru-murid, pemimpin-pegawai, pemilik-karyawan. Bukan balas dendam, tetapi pengampunanlah yang menghancurkan segala spiral kebencian dan kekerasan. Kerahimanlah yang akan membuat kuncup-kuncup bersemi indah di taman dunia kehidupan ini.
Hari ini keledai mempermalukanku. Binatang yang sering dihina dan dilecehkan ini justru memperlihatkan borok-borok busuk kehidupanku. Hidup yang doyan konflik, karena menganggap yang lain sebagai saingan dan ancaman bagi dirinya. Hidup yang egois, dan mengurbankan orang lain demi kenyamanan dan keselamatan diri sendiri. Hidup yang senang dengan pencitraan, pamer kehebatan dan keindahan, dan bermasa bodoh dengan jeritan penderitaan orang lain.
Dalam perayaan Minggu Palma hari ini, keledai tidak hanya mengundangku untuk hidup sederhana, damai dan bersaudara. Lebih dari itu, agar saya mengandalkan Allah dalam kehidupan di tengah dunia yang glamour dan “bermegah diri” ini. Ketika bukan lagi pada ketangkasan dan kehebatan seekor kuda, tetapi pada kelemahan dan kehinaan seekor keledai, sesungguhnya saya diajak untuk hanya bersandar pada kekuatan Allah dalam perjuangan hidup ini. Hari ini kita berteriak dan bernyanyi nyaring dalam Misa: “Hosana, Putera Daud!”. Ini hendaknya bukan sekedar kata-kata liturgis, tetapi janji dan komitmenku untuk selalu mencari kehendak-Nya dan melakukannya, agar Dia semakin dimuliakan dalam hidupku yang hina dan rapuh ini. Selamat merayakan hari minggu Palma. Hosana, Putera Daud! Tuhan memberkati…
Comments are closed.