Press "Enter" to skip to content
Rekoleksi dalam rangka Sidang Pastoral Post Natal keuskupan Ruteng, Senin 9 Januari 2023

REKOLEKSI TENTANG EKONOMI BERKELANJUTAN:“KIRANYA KEADILAN BERMEKARAN DAN KEMAKMURAN BERLIMPAH” (MZM. 72:7)

Materi ini disiapkan dan dibawakan oleh RD Andy Djeramat dan dibawakan pada rekoleksi dalam rangka Pertemuan Pastoral Keuskupan Ruteng di Rumah Ret-Ret Maria Bunda Karmel Wae Lengkas, Senin 9 Januari 2023

MESIAS, RAJA YANG ADIL

Mazmur 72 adalah doa kepada Tuhan atas nama raja Israel. Pidato kepada Elohim (1b-2) dan litani keinginan pemohon (ayat 4-11; 15-17) bersaksi tentang hubungan dekat antara Yahweh dan raja. Penggambaran raja di tahap pertama Mazmur 72 mencerminkan citra raja ilahi, Yahweh, di belakang sosok kerajaan ini. Sebagai penerima keadilan dan kebenaran Allah (ayat 1), raja, karena amanat ilahinya, adalah perantara yang mengkonkretkan dan mengaktualisasikan keadilan yang diberikan Allah. Sebagai bawahan dia bergantung pada Tuhan untuk fungsi instrumental ini. Oleh karena itu, bimbingan ilahi yang stabil dan abadi dari raja (ayat 5) membentuk dasar kerajaan Israel. Raja Ilahi yang ada di belakang raja adalah kekuatan sebenarnya di atas takhta kerajaan.

Lima Bagian Teks Mazmur 72:1-20

Ada lima bagian dari teks Mazmur

Pertama, ay. 1b-4: Prolog. Prolog ini dimulai dengan doa syafaat kepada Tuhan (1b), dilanjutkan dengan gambaran dimensi sosial pemerintahan raja (2-4). Raja memiliki kewajiban untuk melakukan keadilan bagi orang miskin di masyarakat.

Kedua, ayat 5-7: buah dari keadilan sosial. Metafora ini begitu hidup karena pemazmur menggabungkan gambaran masyarakat dan alam. Raja menjadi prinsip hidup yang dipersonifikasikan. Kekuasaan dan kelimpahan yang langgeng memberikan gambaran tentang hasil keutuhan (kedamaian/kesejahteraan) yang bisa dialami. Gambaran kesuburan di tanah memvisualisasikan hasil yang diberkati ini.

Ketiga, bagian tengah, ayat 8-11. Bagian ini menggambarkan kekuasaan universal, yang berasal dari pemerintahan raja yang adil. Seluruh dunia menjadi terlibat dalam aturan universal ini. Keutuhan sebagai konsekuensi dari pemerintahan raja menemukan gambaran dalam istilah khusus, ketika semua raja dan bangsa asing datang dari “ujung bumi” (8) untuk melayani dia. Mazmur 72 ini memiliki konsep yang sama dengan Raja dalam Zakhariah 9:9-10. Raja yang hadir sebagai personae miserae, yang miskin (oni) dan benar (šadiq), justru datang sebagai raja universal untuk membawa šalom (damai). Ini persis seperti raja yang adil dalam Mazmur 72. Oleh karena itu, mazmur ini tidak hanya mengacu pada raja sejarah yang nyata (ay 1b-7; 12-14;16-17ab), tetapi membuka cakrawala masa depan untuk profil aspek pemerintahan raja yang ideal (ay 8-11).

Keempat, ayat 12-14, seperti dalam 2-4, dimensi sosial dari keadilan raja dijelaskan. Kata ‘orang miskin’ diulang beberapa kali dan disandingkan dengan perbuatan penebusan raja. Dengan belas kasih, raja memberikan pembebasan kepada yang miskin, yang menderita dan yang tertindas. Dia menyelamatkan mereka dari penindasan dan kekerasan.

Kelima, ayat 15-17, jelas bahwa sang raja menjadi ‘cermin’ untuk memancarkan hasil keadilan ilahi dalam kekuasaan dan kelimpahan. Melalui Raja, Tuhan mewujudkan kelimpahan atas tanah. Rakyat raja dan semua bangsa diharapkan menerima berkat yang melimpah. Bahasa kosmik menggambarkan kesuburan alam, sedangkan nama kerajaan yang abadi melambangkan kekayaan dan kebahagiaan. Ayat 17b dari segi bahasa sangat dekat dengan Kejadian 12:1-3. Dalam teks Kejadian ini, Tuhan telah menjanjikan kepada Abraham berkat sebuah negeri dan nama yang abadi, bukanlah suatu kebetulan. Seperti Abraham yang berperan sebagai perantara berkat Tuhan, raja juga harus memenuhi peran yang sama. Jabatan raja adalah kelanjutan dari keterlibatan Yahweh dan penyertaan yang diberkati dalam sejarah Israel, yang dimulai dengan Abraham. Mediasi keadilan dan kebenarannya menjadikannya media berkat Tuhan bagi umatnya, termasuk bangsa-bangsa dan raja-raja alam semesta. Dengan demikian ia menjadi realisasi dari janji Tuhan kepada Abraham.

Kalau dilihat lebih teliti, pola penulisan yang dibangun pun mendukung ‘pemantulan dan gaung penekanan’ dari teks ini. Pola ini terlihat dalam ayat 2-4 (keadilan sosial -A) dan 5-7 (cosmos/ fertilitas di alam -B) dan 12-14 (keadilan sosial –A’) dengan 15-17 (kosmos/kesuburan di alam -B’). Struktur paralel ini, tidak hanya membangun pola konsentris (A-B-C-A’-B’) yang menekankan pemerintahan universal dan kosmik kerajaan Yahwistik (8-11), tetapi juga ada ‘pelentingan’ (rebound) yang ‘menggaungkan gemanya’ pada tingkat linier dari 2-7 ke 12-17. Pola ini disusun sedemikian teratur sehingga tema tentang mesias dan keadilan sosial bergaung dan bergema sempurna di titik klimaksnya. Selain itu, kelima bagian dalam Mazmur ini mencontohi Kitab Pentateukh (kelima kitab pada awal Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan).

Penggenapan Ramalan Dalam Diri Yesus Kristus

Kristus (Yunani) sama dengan Mesias (Ibrani) yang berarti yang ‘terurapi’. St. Ireneus menulis: “Nama Kristus berarti Ia yang mengurapi, Ia yang diurapi, dan dengannya Ia diurapi. Bapalah yang mengurapi, Putra yang diurapi, dalam roh, yang adalah urapan itu sendiri.” Kristus mengemban tugas rangkap tiga: nabi, imam, dan raja.

Kristus mendamaikan manusia dengan Allah dan dengan demikian menyelamatkan manusia (1 Yoh. 4:10). Kristus menjadi manusia supaya kita mengenal cinta Allah dan menjadi contoh kekudusan bagi kita. Ada pertukaran agung dan kudus: “Karena Putra Allah yang tunggal hendak memberi kepada kita bagian dalam ke-Allah-annya, Ia menerima kodrat kita, menjadi manusia” (Thomas Aquinas). Kristus menggambarkan wajah Allah yang berbelas kasih.
Persekutuan Tritunggal Mahakudus adalah persekutuan kasih yang saling memberi dan menerima, tanpa kehilangan keunikannya.

Persekutuan Tritunggal tidak tertutup dan mengundang setiap ciptaan untuk terlibat dalam persekutuan kasih itu. Persekutuan kasih ilahi menghasilkan kesembuhan, pengampunan dan pemulihan bagi umat manusia. Dari sudut ekonomi, persekutuan Trinitas mengundang orang untuk hidup dalam masyarakat dengan semangat memberi dan berbagi, serta secara khusus peduli kepada yang lemah dan bernasib malang.

Dalam Perjanjian Baru, teologi kenosis menyatakan pilihan Kristus sendiri kepada mereka yang miskin. Ia bukan hanya meninggalkan keallahanNya dan menjadi manusia miskin. Ia bahkan mengidentifikasikan diri-Nya dengan mereka yang miskin dan malang (bdk. Mat 25:40; EA art. 34).

Yesus Kristus adalah kepenuhan keadilan Allah. Kristus adalah Sang Kebenaran dan Keadilan. Ia adalah wajah Allah Maharahim (Luk. 23:47; Kis. 3:14; 7:52; 22:14). Ucapan bahagianya dalam khotbah di bukit (Mat. 5:3-12) menggambarkan pilihan Allah. Kristus ingin agar umat-Nya berkelimpahan (sejahtera): “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10).

KONTEKS

Teks Mazmur 72:1-20 menampilkan kata-kata yang berkaitan dengan hasil bumi dan ini tentu akrab di telinga umat Keuskupan Ruteng yang sebagai besar berprofesi sebagai petani. Perikop Mazmur 72 berbicara tentang orang miskin, kita pun bisa berkaca dengan tingkat kemiskinan di Manggarai Raya. Konteks masalah sosial-ekonomi di KR berkaitan dengan: bidang diakonia, khusususnya Pastoral Bidang ekonomi dalam hasil Sinode III KR. Masalah-masalah dominan yang berkaitan dengan ekonomi adalah: kemiskinan yang melilit cukup banyak kehidupan umat Keuskupan Ruteng, mutu kesehatan masyarakat/umat, khususnya ibu dan anak, yang rendah, pariwisata yang mengancam eksistensi dan identitas kehidupan masyarakat lokal, pertanian kimia anorganik (sintetik) terutama penggunaan pupuk kimiawi yang lambat laun berdampak destruktif baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap kelestarian alam.

Dari teks Mazmur dan konteks di atas, apa yang bisa kita gali dan bawa sebagai permenungan di Tahun Ekonomi Berkelanjutan ini? Bagi saya, ada dua hal yang penting, yaitu: “ekonomi rekonsiliasi” dan “ekonomi-communio”.

“EKONOMI REKONSILIASI”

Teks Mazmur ini menyebut keadaan ideal tentang ekonomi: yang sejahtera (‘tanaman gandum yang berlimpah-limpah, buah mekar, dan bulir-bulirnya berkembang), yang adil (keadilan dalam relasi dengan orang lain, terutama kepada orang miskin), dan ekologis (tentang bukit-bukit, padang belantara, gunung-gunung yang lestari…). Justru, dengan masalah-masalah dominan di atas, kita mesti memeriksa lagi relasi-relasi kita: dengan sesama dan dengan alam ciptaan.

Relasi antarmanusia: yang punya kuasa dan modal – rakyat/pekerja .

Rekonsiliasi itu pertama-tama harus dimulai antara manusia. Dalam hal ini, rekonsiliasi itu antara yang punya kuasa dengan rakyat/umat dan rekonsiliasi antara yang punya modal dengan pekerja. Pertobatan dalam relasi ini penting agar ekonomi benar-benar melayani manusia: manusia seutuhnya dan seluruh persekutuan manusia.

Relasi Manusia dan Alam

Pandangan antroposentris terhadap dunia mempengaruhi cara manusia untuk mengolah dan menguasai alam. Akibat pandangan antroposentris ini, alam dieksploitasi, diobrak-abrik….

Pertobatan personal dan sosial, serta aksi sosial.

Rekonsiliasi ini mesti melahirkan pertobatan personal, pertobatan sosial, pertobatan ekologis. Pertobatan ini pun mesti bermuara pada aksi pribadi dan sosial. Dalam bahasa KGK, pertobatan personal-sosial-ekologis ini mesti tampak dalam kegiatan ekonomi yang berjalan dalam “tata moral dan keadilan sosial sehingga ia sesuai dengan apa yang Allah maksudkan untuk manusia” (KGK 2426).

DARI “EKONOMI REKONSILIASI” KE “EKONOMI-COMMUNIO”

Dengan ekonomi-communio ini, kita pun mesti memeriksa lagi iman, harapan, dan kasih. Iman akan Kristus yang lahir, wafat, dan bangkit. Iman tidak berhenti pada percaya pada Bapa, tetapi percaya juga kepada Dia yang diutus oleh-Nya, dan juga Roh Kudus.

Paulus dalam Roma 10 mendaratkan itu dalam tubuh manusia. Iman muncul dari pendengaran: ketika manusia mendengarkan Sabda Tuhan (fides ex auditum). Dari pendengaran, gerakannya menuju ke hati, darimana datang keputusan fundamental (corte creditur). Dari hati, gerakannya naik ke mulut. Dengan mulut, Sabda Allah diwartakan (ore fit confessio). Tidak hanya berhenti sampai di situ: iman dari pendengaran, yang turun ke hati, dan diwartakan lewat mulut, mesti diteruskan lewat tangan. Iman menjadi nyata lewat karya karitatif.

Dengan mengikuti alur ini, maka ekonomi-communio ini mesti menjadi jalan bersama, bukan jalan sendiri-sendiri. Ekonomi-communio adalah kesadaran bahwa manusia dan alam ciptaan itu terhubung, saling terkait. Ekonomi-communio itu merangkul, saling mengisi, dan saling menolong (subsidiaritas dan solidaritas). Setiap orang bekerja dalam keragaman talentanya. Ekonomi-communio merayakan keragaman, ia tidak memberangus keunikan.

Ciri lainnya, ekonomi-communio itu ‘menghibur’, bukan me-nina bobo. Menghibur manusia adalah tugas Allah Tritunggal. Allah Bapa disebut “Allah sumber segala penghiburan” (2Kor 1:3), “menghibur semua orang berkabung” adalah ciri khas pelayanan Anak Allah (Yes 61:2) dan Roh Kudus disebut “penghibur” (Yoh 14:16,26; 15:26; 16:7), Dia yang mendampingi kita untuk memberikan penghiburan dan pertolongan. Dengan demikian pun, pastoral ekonomi kita tidak hanya me-nina bobo, tetapi memberikan daya sehingga dengan setiap orang bergerak dan bekerja untuk mengeluarkan potensi terbaik dari dirinya.

Pertama, manusia sebagai citra Allah. Ekonomi adalah ‘ruang perjumpaan’ bagi banyak orang. Ekonomi hendaknya terbuka untuk melayani semua orang karena pada dasarnya, ekonomi itu melayani manusia. Ekonomi harus menjunjung tinggi martabat manusia. Ekonomi bukan hanya memberikan ruang kepada laki-laki, tetapi memberikan tempat kepada perempuan. Jadi, communio dalam ekonomi itu bukan hanya persaudaraan, tetapi juga persaudarian.

Kedua, keberpihakan kepada dan dengan orang miskin (preferential option for and with the poor). Teks Mazmur sering menyebut kaum miskin. Paus Paulus VI dalam Octogesima Adveniens mengajak kita untuk berkaca pada Injil, “Dalam mengajarkan cinta kasih, Injil mengajari kita untuk secara istimewa menghormati orang-orang miskin dan situasi khusus mereka di tengah masyarakat….” (OA art. 23). Dengan kata lain, prinsip ini mengalir dari “perintah radikal untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri.” (EJA art. 87). The option for and with the poor bukan prinsip eksklusif, yang meniadakan atau mengabaikan kelompok lain. Ini adalah sebuah pilihan (preferential). Mereka yang terpinggir dan tersingkir, yang paling lemah dan paling malang, yang tidak mampu membantu diri sendiri, dipilih untuk diutamakan (bdk. EJA art. 86 & 94). Panggilan untuk berpihak pada dan dengan orang miskin dengan sendirinya adalah panggilan untuk hidup dalam semangat ugahari.

Ketiga, komitmen untuk kebaikan bersama (bonum commune). Doa dalam Mazmur 72:1-20 bersentuhan dengan kebaikan bersama. Kebaikan bersama mesti diusahakan bersama. Setiap pribadi itu ada bersama dan untuk yang lain. Setiap pribadi manusia tidak dapat terlepas dari pribadi yang lain. Maka setiap orang bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum hanya dapat dicapai dan ditingkatkan secara bersama-sama.


Keempat, kasih + keadilan = kerahiman. Keadilan adalah Kita mesti ingat bahwa keadilan adalah salah satu bagian dari kasih (bdk. 1 Kor. 13:1-13). Keadilan jika tidak disatukan dengan kasih, tidak lengkap. Ia akan jatuh dalam ‘legalisme’. Keadilan mesti ditambah dengan kasih. Kasih dan keadilan adalah isi dari kerahiman. Kerahiman adalah kesempurnaan dari keadilan. Keadilan Tuhan sebenarnya tidak bertentangan dengan keadilan manusia (setiap pekerja dalam perumpamaan menerima upah yang disepakati), tetapi melampauinya, melengkapi dan mengubahnya dengan kasih.
Kelima, tentang kerja. Ada dua hal yang mesti diingat pada bagian ini.

Pertama, Allah itu seorang pekerja. Ia menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Ia menciptakan manusia menurut citra-Nya. Sebelum semuanya ada, Allah itu sudah bekerja. Allah menjadi teladan pertama dan utama dalam kerja. Dengan demikian, kerja itu bukan kutukan sebagai akibat kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Kerja itu sudah ada sebelum Adam dan Hawa jatuh dalam godaan ular di Taman Eden.


Kedua, kerja kreatif karena Sabda Allah itu berdaya kreatif. Ingat kuasa Firman Allah ketika Ia menciptakan bumi, segala isinya. Allah menciptakan semuanya itu dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Berkali-kali Kitab Suci menyebut: “Berfirmanlah Allah …” (Kej 1:3,6,9,11,14,20,24,26). Dengan kata lain, Allah bersabda hingga langit dan bumi ini menjadi ada; sebelum sabda kreatif Allah diucapkan, semuanya itu tidak ada (bd. Mazm 33:6,9; 148:5; Yes 48:13; Rom 4:17; Ibr 11:3). Dalam peristiwa inkarnasi, Sabda itu menjadi daging: Dia-lah Yesus Kristus. Seluruh Trinitas mendampingi kehidupan kita.

Dua alasan ini adalah dasar bagi manusia untuk bekerja dan mencintai pekerjaannya. Karya manusia adalah tindakan langsung dari manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Dengan demikian, pekerjaan adalah satu kewajiban: “Jika seorang tidak mau bekerja, jangan ia makan (2 Tes 3:10) (KGK 2427). Seperti iman tanpa perbuatan adalah mati, demikian juga doa tanpa kerja adalah sia-sia.
Keenam, menjaga dan merawat alam. Manusia hanya salah satu ‘bagian’, bukan satu-satunya, dari semesta ini. Allah menciptakan semuanya baik. Ketika dosa sudah mulai merasuki dunia, manusia mulai mengeksploitasi dan merusak alam ciptaan-Nya. Allah marah. Ia mendatangkan air bah. Tetapi, justru setelah itu, Allah menyesal. Ia mengadakan perjanjian dengan Nabi Nuh. Inilah perjanjian pelangi: ketika Allah tidak ingin mendatangkan bencana lagi kepada manusia. Karena itu, bencana bukan karena kemarahan Allah, tetapi karena, pertama, daur siklus bumi (gempa, gunung meletus) dan juga akibat kerakusan manusia mengeksploitasi alam.


Santo Agustinus dari Hippo (430-543 A.D.) menulis: “Sebagai umat Kristiani, tugas kita adalah membuat kemajuan setiap hari menuju Tuhan. Ziarah kita di bumi adalah sekolah di mana Tuhan adalah satu-satunya guru, dan itu menuntut siswa yang baik, bukan orang yang membolos. Di sekolah ini kita belajar sesuatu setiap hari. Kita belajar sesuatu dari perintah, sesuatu dari contoh, dan sesuatu dari sakramen. Hal-hal ini adalah obat untuk luka kita dan bahan untuk dipelajari.”. Marilah di Tahun Ekonomi Berkelanjutan ini, kita menjadi ‘siswa’ yang baik dan meneladani Kristus, Sang Guru Agung dalam karya perutusan kita. Amin.

Comments are closed.