Oleh: RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng
(Minggu, 2 Nov 2025: 2Mak 12:43-46; 1Kor 15:20-28; Yoh 6:37-40)
Dalam ziarah hidup ini, ada saat-saat ketika orang bertanya, ke manakah arah bidukku di tengah samudera kehidupan yang luas dan terkadang bergelora ini? Dalam rangkaian peristiwa hidup yang mengalir rutin sehari hari, orang tidak hanya mengulanginya tetapi juga mencari muara titik tujunya. Bahkan juga dalam hura hura hidup yang penuh gejolak terutama yang dialami masa muda, orang tetap mencari arah yang memberi kepastian dan ketenangan.
Tetapi persis itulah yang tidak diberikan oleh kematian. Malah dalam kematian, pertanyaan itu semakin menganga lebar tanpa jawaban. Apa yang terjadi setelahnya? Dalam kematian kebingungan itu semakin menjadi kegelapan yang mencekam. Dewa kematian dalam mitologi Yunani adalah Thanatos. Ia merupakan putra dari dewi kegelapan (Nyx) dan saudara kembar dari dewa tidur (Hypnos). Jadi dalam perspektif ini kematian adalah kegelapan, ketidaksadaran, kehampaan, kekosongan.
Orang Manggarai, Flores Barat menyebut dunia orang mati sebagai pa’ang be’le. Artinya dunia di seberang, yang berbeda dari dunia kehidupan ini. Karena berbeda, aura keduanya tak boleh bercampur. Harus ada pemisahan, yang dibuat lewat ritus tertentu, sehingga dunia seberang itu tidak “mengancam” kehidupan orang orang dunia di sini (ritus saung ta’a). Dunia seberang itu dihuni oleh para arwah nenek moyang dengan dinamika dan kaidahnya sendiri.
Apa yang terjadi setelah kematian? Kitab Makabe mengangkat praktik baik orang Yahudi yang hidup pada masa akhir kekuasaan Yunani beberapa abad sebelum kedatangan Kristus, yakni doa-doa untuk orang yang meninggal. Menurut Yudas Makabe, praktik ini adalah tanda pengharapan. Karena dengan ini terungkap keyakinan bahwa setelah kematian bukan kegelapan dan kekosongan yang menguasai. Hidup fana ini tidak berakhir begitu saja, apalagi yang telah diisi dengan perjuangan keadilan dan kebenaran. Hidup demikian tidak sia-sia karena akan terarah kepada pemenuhannya, kepada kebangkitan (2Mak 12).

Namun pertanyaannya, siapa yang menjamin kebangkitan? Bukankah dalam kematian, seluruh andalan dan kekuatan manusiawi bukan hanya berakhir tetapi hancur dan lenyap? Apa yang dapat diandalkan ketika kehidupan manusia mencapai titik fananya yang final?
Di sinilah bersinar pengharapan Iman Kristiani. Yang sanggup mengubah kerapuhan dan kefanaan hidup manusiawi hanyalah kekuatan ilahi. Yang menjamin kebangkitan adalah Allah sendiri. Karena itu kita masih terus dapat merangkai harapan dalam kematian, sebab Dia yang telah menciptakan kehidupan ini, tentu tidak akan membiarkannya terkubur dalam kegelapan tetapi mengubahnya ke dalam terang kehidupan baru. Iman Kristiani meyakini, bahwa hidup kita yang fana ini, juga yang dinodai dan dirusak oleh dosa tidak dibiarkan oleh Allah membusuk dalam tembok kuburan, tetapi akan diampuni dan diolesi-Nya dengan balsem kerahiman ilahi.
Itulah yang menurut Rasul Paulus, Allah lakukan ketika Dia membangkitkan Yesus dari kematian. Melalui belarasa-Nya dengan manusia sampai titik akhir paling kelam saat kematian, Yesus sekaligus membiarkan cahaya ilahi menyinari semua orang yang “meringkuk dalam kegelapan maut”. Melalui kebangkitan-Nya, Dia juga memeluk lembut semua orang yang meninggal dalam rangkulan mesra surgawi yang menghidupkan. Karena itu Dia bangkit sebagai “yang sulung”. Artinya bukan sekedar sebagai yang pertama tetapi juga yang menjamin dan menarik semua yang lain ke dalam kehidupan surgawi, persatuan mesra persekutuan ilahi (kebangkitan) (1 Kor 15: ).
Bagaimanakah bentuk dan situasi kehidupan di “seberang sana” itu? Apa itu “hidup kekal” yang diwartakan Yesus dalam injil? Hidup kekal bukanlah sekedar hidup baru setelah kematian, juga bukan lawan dari hidup yang fana ini. Hidup kekal jangan diartikan secara kronologis, kelanjutan dari waktu hidup dunia sekarang ini. Juga hidup kekal jangan dimengerti secara kontras sebagai kebalikan dari dunia hidup yang fana ini. Tetapi hidup kekal hendaknya dimengerti secara kualitatif sebagai kepenuhan, paripurna, penyempurnaan dan pembaruan dari kehidupan yang telah berlangsung dalam suka duka, pahit manis di tengah dunia yang fana ini.
Di satu pihak ia bukan sekedar melanjutkan tetapi membarui sepenuhnya kehidupan fana ini. Di lain pihak ia tidak memutuskan tetapi menyempurnakan yang terbatas dan rapuh. Allah sendiri yang akan membuat kuncup yang telah tumbuh dalam hidup fana ini merekah abadi, tetapi yang terkulai dan terkapar ditegakkan dan dihidupkan, dan yang terluka disembuhkan oleh-Nya. Jadi hidup kekal bukan waktu tapi peristiwa. Yaitu peristiwa cinta Allah yang meresapi dan merengkuh semua insan dan segala mahkluk dalam rangkulan persekutuan ilahi. Hidup kekal adalah persekutuan kasih penuh kedamaian dan sukacita. Marilah dalam peringatan arwah hari ini, kita berdoa dan bersatu dengan semua orang terkasih kita yang telah meninggal dalam pelukan belas kasih ilahi. Happy Sunday!

Comments are closed.