Press "Enter" to skip to content

Inspirasi Minggu: Sudahkah Merdeka?

Oleh : RD Martin Chen | Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Ruteng

(Renungan Minggu 17 Agustus 2025: Mat 22:15-21; Sir 10:1-8; 1Petr 2:13-17)

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia. Hari ini kita merayakan usia istimewa 80 tahun bebasnya Indonesia dari penjajahan bangsa asing Belanda (dan Jepang). Tapi sungguhkah kita sudah merdeka, bila air bersih dan cukup saja belum kita nikmati? Sudahkah merdeka, bila jalan kita rusak di mana mana, listrik mati hidup, BBM langka? Sudahkah kita merdeka bila biaya pendidikan dan kesehatan begitu mencekik? Jadi merdeka sejatinya tidak sekedar bebas dari penindasan dan eksploitasi oleh bangsa asing, tetapi juga bebas dari kemiskinan dan kemelaratan. Karena itu menurut Presiden Soekarno, kemerdekaan itu sebuah “jembatan emas”. Ia bukanlah tujuan tetapi sarana, alat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.

Sayangnya, di sini potret buram bangsa kita terpampang lebar dan memerihkan mata. Karena meskipun sudah 80 tahun merdeka, bangsa ini belum juga mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Bila merujuk kriteria kemiskinan terbaru standar internasional bank dunia jumlah penduduk Indonesia yang miskin luar biasa banyaknya: 194,4 juta orang (68,2 persen). Hal ini diukur dari pengeluaran tiap hari di bawah 49.244 rupiah. Jadi penduduk miskin Indonesia bukan berjumlah 23,85 juta penduduk miskin Indonesia (8,47%) seperti data BPS Maret 2025. Angka ini kurang realistis karena hanya diukur dari pengeluaran di bawah 20 ribu per hari. Bila dilihat dari aneka pola dan kebutuhan konsumsi yang beragam dan meningkat dewasa ini, maka angka kemiskinan bank dunia yang lebih realistis. Nah, bila kemiskinan masih begitu parah, kembali pertanyaannya: sudahkah kita merdeka?

Yang lebih mengerikan bila kemelaratan itu akibat ulah sesama bangsa sendiri: pejabat korup dan pengusaha serakah. Bayangkan seorang sekretaris MA menyimpan uang korupsi 1 triliun di rumah, lalu berapa banyak yang tersimpan dalam bentuk emas, tanah, surat berharga? Bayangkan bos mafia minyak Riza Khalid sejak zaman Orde Baru sampai sekarang “dibiarkan” melahap 193,7 triliun dari manipulasi tata niaga minyak. Di sini baliho raksasa kemerdekaan Indonesia melecehkan kita semua. Bangsa ini memang sudah 80 tahun bebas dari penjajahan bangsa asing tapi sesungguhnya masih dijajah oleh “bangsa” sendiri, jadi “kuli dan babu” dari penguasa korup dan pengusaha durjana. Kembali lagi: sudahkah merdeka?

Kemiskinan dan ketidakadilan sosial adalah hasil tata kelola kehidupan bersama yang jelek. Karena itu perlu politik yang baik. Perlu demokrasi yang sejati. Perlu perilaku penguasa dan rakyat yang bijaksana dan bermartabat. Inilah yang menjadi pesan bernas Sabda Tuhan hari ini. Kitab Sirakh mengumandangkan pemerintah yang bijak dalam kepedulian dan kerja keras untuk rakyat. Sebaliknya bahaya bagi setiap penguasa adalah kelaliman, kekerasan dan uang. Demikian pula Kitab Pertama Rasul Petrus menggarisbawahi pentingnya orang Kristiani taat kepada pemerintahan yang baik dan bijak. Tentu sebaliknya yang terjadi: mengkoreksi dan membarui kekuasaan yang korup.

Jadi kemerdekaan menurut Kitab Suci tidak dimengerti secara material fisik belaka sebagai kesejahteraan hidup, bebas dari kemiskinan. Tapi kemerdekaan adalah relasi. Kemerdekaan berarti berjalannya relasi yang harmonis, damai dan adil di antara sesama anak bangsa. Kemerdekaan berciri sosial, yakni terjadinya relasi demokratis dan berkeadilan dalam kehidupan bangsa.

Hal ini mensyaratkan pengakuan akan martabat setiap anak bangsa yang luhur dan setara. Keadilan sosial sejati hanya terbangun dalam “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemerdekaan dirasakan manakala dalam kehidupan bangsa ini hak dan kewajiban, serta martabat rakyat diakui dan ditegakkan, bukannya dimanipulasi oleh penegak hukum bejat, penguasa korup dan pengusaha jahat.

Maka dari itu kemerdekaan menuntut penegakan hak asasi setiap orang. Hak ini tak diberikan oleh negara tetapi melekat dalam jatidiri setiap orang yang lahir dari rahim Indonesia. Hak asasi dan martabat luhur setiap orang berasal dari Allah sendiri, pencipta dan pemelihara kehidupan. Karena itu kemerdekaan juga berciri spiritual. Kita baru sungguh menjadi bangsa merdeka bila setiap anak bangsa diperlakukan sebagai “citra dan gambar Allah”, yang keluhuran martabatnya bukan ditentukan oleh perhitungan untung rugi, tetapi semata sebagai anugerah ilahi.   

“Berikanlah kepada Allah yang menjadi hak Allah!”, sabda Yesus dalam injil hari ini. Pajak memang adalah wewenang kaisar (penguasa), tetapi yang harus diatur dan digunakan demi kesejahteraan umum, demi kemakmuran dan kebahagiaan setiap anak bangsa. Karena setiap orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki martabat luhur dan sederajat karena sama-sama diciptakan oleh cinta ilahi dan ditakdirkan lahir dari rahim bumi nusantara, Indonesia tercinta. Hak Allah adalah atas setiap manusia ciptaan-Nya dan dalam kehidupan setiap insan yang bermartabat.   

Karena itu kemerdekaan juga berciri personal. Merdeka berarti setiap orang merasa hidup dalam suasana damai dan dapat menentukan, memutuskan dan mengelola kehidupannya sendiri dengan kreatif dan gembira. Kenerdekaan terjadi ketika setiap anak bangsa di bumi Nusantara ini hidup dalam damai, bebas dan penuh sukacita. Ia tak perlu takut dicap kafir dan najis. Tak perlu cemas menjadi korban mafia hukum dan peradilan. Tak perlu resah diancam aparat keamanan dan penguasa. Tak perlu putus asa dengan masa depan yang suram. Kita semua adalah anak bangsa yang berdaulat di nusantara ini. Setiap kita sudah merdeka di bumi persada tercinta Indonesia. Jangan biarkan kemerdekaan itu direnggut oleh siapa pun. Rayakan dan hidupi kemerdekaan itu dengan kreatif dan penuh sukacita. Dirgahayu 80 Tahun Bangsa dan Negara Indonesia! Selamat berhari minggu. Tuhan memberkati Indonesia. Merdeka!!!

Comments are closed.